Seperti halnya Jepang, mereka belajar dari pengalaman gempa di Kobe pada tahun 1995, dengan gempa sebesar 6,8 SR, mengambil nyawa sebanyak kurang lebih 6000-an orang, dan korban luka-luka serta hilang yang jauh lebih banyak. Pemerintah jepang belajar, mereka membuat gedung yang tahan gempa semaksimal mungkin. Dan hal ini terbukti, Gempa kali ini adalah 9,0 SR (info terbaru dari JMA), hanya beda 0,1 dengan tsunami Aceh tahun 2004 yaitu 9,1 SR dengan memakan korban kurang lebih 100.000-an jiwa. Dan korban gempa serta tsunami di Jepang kali ini adalah sekitar 3000 jiwa. Bencana memanglah taqdir dari Allah, tapi bukankah Allah juga memerintahkan kepada manusia agar berikhtiar?
Saya pun belajar banyak hal dari negeri ini, saya mengalami gempa yang cukup besar di daerah saya, Tsurumi sekitar 7,9 SR getarannya (FYI, gempa Jogja 6,5, gempa new zealand 7,3, gempa Sumbar-Nias 7,1).
Sore itu, saya lagi asyik membuat list makanan apa saja, yah nanti yang mau saya makan di Indonesia, karena keesokan harinya saya pulang ke Indonesia. Saya pun sedang berberes-beres, sebelum kepulangan saya ke Indonesia, saya mau menyenangkan hati sahabat-sahabat saya, satu persatu saya kasih hadiah. Rencananya sore itu, saya mau ke kantor pos mau mengirim barang untuk para sahabat saya di Jepang. Saya pun berencana mau membuat kue untuk suami saya, agar hatinya senang sebelum kami berpisah. Tiba-tiba saya merasakan gempa kecil, seperti biasa saat gempa saya masih tenang-tenang saja. Lama-kelamaan gempa ini menjadi `tak biasa` buat saya dan terasa berbeda dari gempa-gempa sebelumnya, saya langsung tancap ambil jaket dan jilbab lari keluar dengan sandal karet, tanpa kacamata. Semua orang pun juga berlarian keluar, syukur alhamdulillah apartemen saya di lantai satu, saya ngga kebayang kalau di lantai atas dalam kondisi hamil harus berlari-larian di tangga. Akhirnya gempa selesai.
Lalu saya kembali lagi ke rumah, entah kenapa saya terpikir memasukkan dompet dan handphone ke kantong saya, padahal gempa sudah selesai. Ternyata feeling saya benar, gempa datang lagi dan jauh lebih dahsyat dari sebelumnya. Gempa kedua saya melihat microwave saya sudah goyang-goyang hampir jatuh, saya langsung menuju keluar lagi. Saat gempa ini, saya berkenalan dengan tetangga saya orang korea, seorang perempuan, chiyong namanya, selama ini saya kesal dengannya karena selalu mabuk dan membuat ribut. Dan sungguh di luar dugaan, memang kita tidak boleh menilai orang yang jeleknya saja, dia bertanya pada saya "bawa pasport, ga?" saya bilang "perlukah? saya hanya bawa dompet dan handphone." Lalu saya bilang, "saya takut kembali ke rumah lagi." Akhirnya dia menemani saya sambil memeluk saya ke dalam rumah dalam kondisi gempa, saya langsung masukkan dokumen penting dan sedikit pakaian. Disini, ada pelajaran pertama, saya harus menilai bahwa setiap manusia itu pasti punya kebaikan, seburuk apapun dia. Bahkan chiyong juga menemani dan menghibur saya, karena saya terlihat sangat panik, sendirian tanpa suami saat terjadi gempa ini. Saat itu saya sangat panik sekali, suami berpuluh-puluh kali tidak bisa dihubungi, padahal dia kerja di lantai 28 dan pinggir teluk. Memang saat itu jaringan telepon tidak beroperasi, lalu chiyong menyuruh saya menggunakan viber (sejenis software untuk menelpon lewat internet), akhirnya dengan viber suami saya dapat dihubungi dan dia baik-baik saja, Alhamdulillah.
Lalu, gempa mulai mereda dan kami semua kembali ke rumah. Sesampainya di rumah saya langsung beres-beres membawa baju saya dan suami, minuman, makanan dan memakai coat tebal serta boots, karena saat itu suhu udara masih dingin sekitar 7-10 derajat. Saya duduk di belakang pintu bersama barang-barang saya, agar kalau terjadi gempa besar lagi saya bisa kabur. Saya mengecek rumah, dan saat ingin mencharge handphone, ternyata listrik mati. Tidak hanya listrik yang mati, air dan gas juga mati. Oh, tidaaaaak.... Sudah jaringan telepon mati, kini listrik, air dan gas juga mati, dan selang beberapa detik membuat status di FB, internet pun juga mati. Bagaimana saya bisa bertahan di rumah yang semakin gelap, karena hari mulai menjelang malam. Malah saya lupa menampung air keran (kalau di Jepang air keran langsung minum) dan hanya tersisa sedikit lumayan. Yang penting jangan panik dan stress, kasihan janinku kalau aku stress dan panik. Saya menyuruh janin saya, "Nak, tendang bunda terus yah, kalau kamu tendang bunda terus, bunda ngga stress." Aku pun juga berusaha tidak stress dengan keadaan agar janinku tetap bergerak. Disini pelajaran kedua adalah, bekerjasamalah dengan janin anda, saat anda menghadapi bencana atau hal sesulit apapun. Karena Allah sudah menaruh nyawa pada mereka sehingga mereka bisa diajak berkomunikasi. Alhamdulillah, kerja sama saya dengan janin saya berjalan baik, dia tetap menendang saya dan saya tetap tenang dan banyak berzikir.
Gempa masih tetap ada, dan saya masih sangat ketakutan menghadapi hari semakin malam dan gelap, tanpa komunikasi, sendirian, tak tahu harus pergi kemana, karena ternyata chiyong dan kawannya pergi mencari makan. "Ya Allah, kalau memang taqdirku harus mati saat ini, aku pasrah, aku akan menjadi syahidah bersama janinku." Saya benar-benar bingung dan tak tahu harus berbuat apa, semua keadaan sudah mulai mencekam, lalu saya berjalan keluar apartemen sebentar, dan saya bertemu tetangga saya yang lain, dia bertanya "Kok, ngga ke tempat evakuasi?" "Emang ada?" "Ada, sekitar 200 meter dari sini." tapi orang ini sendiri tidak tahu tepatnya dimana. Saya maasih bimbang harus meninggalkan rumah atau tidak, karena saya juga khawatir meninggalkan rumah, tapi suami saya tak tahu keberadaan istrinya dimana. Akhirnya, saya tetap menuju ke tempat evakuasi, yang saya pikirkan saat ini adalah kondisi terburuk, kalau semuanya mati listrik, air, dsb lalu terjadi gempa dan sendirian, maka saya khawatir tak selamat. Akhirnya saya berjalan mengikuti orang-orang pergi ke arah mana, setelah saya tahu tempat evakuasinya, saya kembali ke rumah berjalan kaki dengan menuliskan pesan, baru kembali lagi ke tempat evakuasi. Benar, saat saya kembali ke rumah, suasana lebih mencekam daripada kuburan, sangat gelap dan dingin.
Lalu saya kembali lagi ke tempat evakuasi, disini saya merasa lebih tenang, karena penerangan dan penghangat ruangan ada meskipun dari minyak tanah. Ternyata setelah membaca berita setelah bencana selesai, ada 100 kali getaran gempa dalam 5 jam ini, pantas saja, kemarin saya sudah tidak bisa lagi membedakan ini gempa atau perasaanku yang ingin pingsan karena sudah kelelahan.
Kami mendapat biskuit dan air mineral satu-satu. Selama di tempat evakuasi, tak ada satu pun orang Jepang yang panik menghadapi gempa. Bahkan anak-anak masih sempat menghibur saya, "Listriknya mati, yah, lihat ini deh" sambil menunjukkan lampu buatannya sendiri yang tenaganya dia gerakkan dari memutar-mutar tuasnya. "Waaahh sugooi, arigatou yah" sambil saya tersenyum. Disini saya belajar lagi, bahwa kepanikan tidak akan menyelesaikan masalah. Saya belajar bagaimana mereka bisa tidak panik mengahadapi gempa ini, sehingga saya juga terbawa suasana mereka agar tidak panik dan malah bisa lebih konsentrasi berzikir pada Allah.
Banyak hal lain yang harus dipelajari dari gempa ini. Belajar pasrah dengan keadaan dan ketetapan Allah, belajar tidak mengeluh, belajar komunikasi di saat bencana, belajar berhenti dari kesedihan yang berlarut-larut, sebagaimana pemerintah Jepang yang saat ini sudah memikirkan rehabilitasi setelah gempa, padahal gempa baru terjadi 2 hari yang lalu. Saya banyak belajar dari orang-orang Jepang disini saat bencana ini. Seperti kondisi para pengungsi lainnya di Sendai, Iwate, Fukushima, dan sebagainya. Mereka mengungsi, tapi tidak ada satu pun dari mereka yang berebutan makanan di pengungsian. Pemerintah juga sangat peduli, bukan hanya terhadap warga negara Jepang, tapi juga terhadap warga negara asing seperti saya. Mereka tidak pilih-pilih siapa yang harus diselamatkan, seperti pidato Perdana Menteri Jepang tadi malam, "Satu nyawa, pun harus diselamatkan, Ayo berjuang bersama." Tidak ada istilah daerah terisolasi seperti yang sering kita dengar saat bencana di Indonesia, pemerintah rela mengeluarkan uangnya bermiliar-miliar untuk membentuk 50 ribu tim penyelamat beserta helikopter, sehingga daerah yang tak terjangkau pun bisa segera dievakuasi. Begitu juga dengan media disini, selalu mengeluarkan informasi terbaru yang tampil setiap menit, mulai dari info kereta, penerbangan, cara memasang gas disaat darurat, info tentang air bersih, dan sebagainya. Semua ini ditujukan agar tidak ada korban jiwa yang jauh lebih besar.
Bencana adalah hal yang tidak dapat dihindarkan, sekaya dan secanggih apapun negeri itu. Allah jauh lebih memiliki kekuasaan yang canggih, dan tugas manusia hanyalah berdoa dan berusaha. Ingatlah, setiap usaha manusia selalu Allah nilai kebaikan. Ambillah hikmah dan pelajaran dari bencana ini, bahwa manusia adalah makhluk yang sangat kecil di hadapan Allah. Buat yang tidak terkena bencana, jangan pernah mengait-ngaitkan bencana dengan kemarahan Allah. Saya sekarang baru merasakan bencana, bahwa bencana ini adalah kasih sayang dari Allah, Allah ingin menunjukkan kekuasaanNya bukan kemarahanNya seperti yang sering orang-orang tuduhkan. Saya berharap, setelah bencana ini, orang-orang Jepang yang atheis ini akan mempercayai adanya Tuhan yang memiliki kekuasaan atas alam ini. Amiin ya rabbal`alamiin.
Catatan Nurul Septiani
13 Maret 2011, Kanagawa-Jepang