Minggu, 17 Oktober 2010

Menjadi Muslim, Resikokah?

Assalamu'alaykum teman-teman, semoga hari ini dan hari selanjutnya menjadi hari yang indah. Dalam sela-sela waktu saya, saya mencoba menuliskan hal-hal keislaman yang saya alami. Supaya ada kenangan indah tentunya yang bisa diceritakan ke anak cucu kita nantinya. Kalau ada saran, kritik, komentar, makasih ya.

Menjadi Muslim, Resikokah?
Sempat terlintas di benak saya betapa indahnya negeriku, mau kemana-mana ngga akan dilihatin orang, ngga akan ditanya-tanyain orang soal hijab. Mau pergi kesana, kemari, masuk keluar mall, pokoknya dalam bayangan saya nikmat, deh.
Bulan berganti bulan, lama-lama saya terbiasa dengan tatapan aneh dari orang-orang sekitar kepada saya. Saya juga mulai terbiasa dengan pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan. Tapi, saya ngga terbiasa dengan sikap diskriminasi. Inilah resiko menjadi seorang muslim di negeri minoritas.

Waktu itu, saya pergi ke sebuah mini market untuk belanja sayur dan kebutuhan lainnya. Setelah ritual pilah-pilih selesai, saya langsung beranjak untuk membayar belanjaan saya di kasir. Saat saya mau bayar, tiba-tiba petugasnya bilang "Achira desu" (disana). Tapi yang saya lihat disana hanyalah kasir kosong alias tidak ada orang yang menjaganya. Saya pikir jam kerja petugas tadi sudah selesai, sehingga saya tidak boleh bayar di kasirnya. Tapi ternyata malah ada laki-laki India yang diperbolehkan di kasirnya. Rasanya geram banget saat itu. Akhirnya, ada petugas lain yang datang menghampiri kasir kosong tadi, dan dia mengucapkan kata "Maaf" kepada saya. Padahal, jelas-jelas saya sudah mengantri duluan, kenapa yang dipersilahkan di kasirnya malah orang lain. Sampai semua mata pengunjung toko melihat ke arah saya, rasanya mata saya hampir basah saat itu. Saya berusaha untuk tidak marah, karena akan makin memperburuk citra Islam nantinya. Lebih baik saya mengalah, daripada cari-cari masalah.

Beberapa minggu kemudian, saya main ke rumah teman saya. Di rak bukunya, ada tertera buku "Menyemai Cinta di Negeri Sakura" karya mbak Lisza Anggraeni dan Mbak Setyawati (sering ketemu orangnya malah belum baca bukunya :p). Langsung aja kepingin baca. Setelah saya baca, ternyata kisah-kisah mereka menjadi muslim di negeri Sakura ini juga banyak mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan. Seperti mbak Lisza, saat dia berjalan tiba-tiba dikatain "hantu". Lalu mbak Setyawati, juga pernah mengalami hal yang sama seperti saya, diskriminasi saat membayar di kasir. Kok, bisa sama sih kejadiannya. hehehe

Cerita selanjutnya adalah di kelas bahasa Jepang saya. Alhamdulillah sekarang saya sudah sampai tingkat Shookyu (Intermediate). Kelas baru, murid baru, juga guru baru. Pengalaman pertama di kelas ini, ada yang menyenangkan, ada juga yang mengesalkan. Menyenangkan karena akhirnya saya bertemu dengan teman-teman muslim, walaupun bapak-bapak, sih. Pertama, namanya munir, dari negara Kenya dan yang satunya lagi namanya Hesyam dari negara Mesir. Ternyata istri Hesyam adalah teman saya, hehehe baru tahu wajah suaminya akhirnya.

Di kelas baru ini, teman-temanya menyenangkan. Cuma ada satu guru yang agak-agak gimana sama saya. Sebelum saya cerita tentang guru ini, perlu diketahui kebudayaan di Jepang seperti apa. Memanggil orang yang sudah dikenal dengan kata "anata" (kamu) adalah hal yang tidak sopan. Jadi, kalau anda sudah kenal seseorang, harus memanggil dengan namanya "Nuruu san (Nama saya di Jepang).

Di kelas ini, muridnya hanya 6 orang. Dan semuanya sudah memakai nametag masing-masing agar sensei kami bisa memanggil kami semua dengan nama. Kebayang kan, kelas kecil dan semua memakai nama pasti sangat mudah untuk menghafal nama-nama teman-teman kita, kan. Di kelas yang kecil ini, hanya nama saya yang tidak pernah disebut oleh sensei saya. Dia selalu memanggil saya dengan kata "ANATA". Padahal jelas-jelas saya menggunakan name tag dengan tulisan Nuruu. Nama saya tidak pernah disebut sedikitpun olehnya. Tapi, nama teman-teman yang lain semuanya disebut, Uka san (mongol), riri san (peru), kimu san (korea), hesyam san (mesir), muneer san (kenya).  Rasanya kesal sekali, apakah karena saya seorang muslim lalu saya didiskriminasikan lagi. Saya cerita ke suami, yah memang harus sabar kalau jadi muslim disini. Tapi, lain kali kamu juga harus berani, berani membela diri kalau diperlakukan seperti itu, bilang dong ke senseinya "watashi no namae wa nuruu desu" sampai berkali-kali, biar manggil kamu pakai nama, bukan Anata lagi. Ah, ya sudahlah....Senseinya sudah diganti jadi yang baik hati hehehe^^

7 komentar:

  1. wihh, udah sampe cucu segala dipikirin, hihi

    BalasHapus
  2. wah..senseinya ga sopan banget =__= ternyata ada jg orang jepang yg kaya gitu ya. kirain meski ga suka, mereka ga akan nunjukin terang2an kaya gitu. sabar ya nuruu-san :D

    BalasHapus
  3. mbak lenny : makasih
    mbak ira : ngga semua orang jepang baik, banyak yang aneh juga. tapi Alhamdulillah senseinya udah baik, tunggu cerita selanjutnya yaa

    BalasHapus
  4. Pada awalnya Islam itu asing. Dan pada akhir zaman pun tetap asing. Maka beruntunglah orang-orang yang (dianggap) asing.

    BalasHapus
  5. setuju sama mba Maryam Qonita,,btw Islam adalah agama yg juga mendidik penganutnya sabar & berikhtiar..

    teruskan perjuanganmu mba :)

    BalasHapus